Sabtu, 21 September 2013

(Artikel Sastra) - Sastra Hijau

Artikel Sastra








“Kebudayaan yang benar dilahirkan di alam, sederhana, rendah hati, dan murni”



― Masanobu Fukuoka, The One-Straw Revolution


Salah satu upaya penyelamatan melalui proses penyadaran bisa dilancarkan melalui gerakan budaya (cultural) terutama dengan memanfaatkan kekuatan sastra, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Kelebihan dan keunggulan sastra, ia memiliki potensi yang ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu bombastis.


Naning Pranoto : Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi






Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sastra hijau ini, dan mengapa disebut sastra hijau, apakah dalam sastra itu ada berbagai macam warna semisal sastra putih, sastra hitam, sastra pink, sastra biru ? Kenapa tidak disebut sebagai sastra pelangi saja, biar lebih memiliki kesan warna-warni yang komplit. Bukankah sastra mengandung berbagai aspek kehidupan yang warna-warni. Mungkin terlintas dalam bayangan Anda berpikir demikian, hal ini tidak sepenuhnya salah, tentu sebuah alasan memiliki dasar pengamatan yang bervariasi.

Menurut pendapat Naning Pranoto bahwa yang dimaksud dengan sastra hijau adalah : "sastra yang menawarkan inspirasi dan ajakan untuk menyelamatkan bumi". Tidaklah sukar untuk mendifinisikan sastra hijau ini, dan mudah sekali menebak tulisan ini jika Anda membaca judulnya.

Lama berselang alam sudah merupakan bagian dari kesusasteraan dan diksi mengenai laut, gunung, lembah, hutan, bunga, dan yang berhubungan dengan alam sudah diperkenalkan dalam tulisan-tulisan indah atau puisi-puisi raja Daud. (Lihat Artikel Penyair Adalah Plagiat).

Sastra hijau ini diperkenalkan kembali pada tahun 1996 oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm dalam tulisan esainya berjudul "The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology". Dalam tulisannya tersebut mereka memperkenalkan sebuah konsep mengenai ekologi ke dalam tulisan sastra dan menjadikan bumi (alam) sebagai pusat studinya. Yang dimaksud dengan ecocriticism adalah sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup (Glotfelty).

Sebagai sedikit gambaran awal dan perkembangan sastra hijau ini, Firman Nugraha menulis dalam blognya sebagai berikut:


Sebagai sebuah konsep, ekokritisisme muncul ke permukaan pada tahun 1970-an dalam sebuah konverensi WLA (The Western Literature Asscociation). Melalui eseinya yang berjudul What is ecocriticism?, Michael P. Branch menelusuri istilah ecocriticism yang ternyata pertama kali digunakan olah William Rueckert (1978) dalam eseinya Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism. Menurut Branch, istilah ekokritisisme dan ekologi ini menjadi sangat dominan menjelang WLA, yang kembali dilaksanakan pada tahun 1989. Dan ketika itu, Glotfelty mendesakan istilah ekokritisisme untuk digunakan sebagai kritik yang sebelumnya telah dikenal sebagai the study of nature writing.


Sumber : http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/sastra-hijau.html


Tidak soal bagaimana sastra hijau itu bermula dan berkembang, pada dasarnya manusia dalam menulis selalu mengekspresikan pikirannya atau ide-idenya yang dituangkan dalam karya sastra selalu bersentuhan langsung dengan alam, manusia serta pemikiran-pemikiran yang berkembang pada zamannya.

Hanya saja kita patut merespek karya-karya sastra hijau ini sebagai salah satu alternatif dalam berkarya dan menulis puisi untuk lebih memperdulikan lagi bagaimana alam selalu menopang kehidupan manusia


Sastra Hijau Dalam Catatan Referensi


Begitu maraknya dan masivnya kerusakan hutan di Indonesia akibat eksplorasi tambang, penebangan kayu, pengeboran minyak serta pembukaan ladang sawit besar-besaran serta pembakaran hutan untuk kepentingan kelapa sawit yang sangat merusak, serta pembangunan pariwisata yang tidak mengindahkan keseimbangan alam setempat semuanya itu membuat alam menjadi semakin terpuruk dan lama kelamaan akan habis dan sirna.

Baru-baru ini kita baca di berita Greenpeace bahwa salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang eksplorasi minyak bumi di kutub utara secara besar-besaran demi bisnis semata tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistim alam di kutub utara.

Bumi semakin lama semakin terpuruk, para ahli sains mempercayai bahwa perubahan iklim yang drastis, seperti musim hujan di suatu tempat yang berkepanjangan, dan di tempat lain badai salju yang begitu keras menghantam kota-kota di dunia, ataupun bencana kekeringan yang begitu panjang di belahan dunia lain, serta timbulnya beberapa penyakit yang dahulunya tidak pernah ada, semuanya itu diperkirakan karena terjadinya perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia yang merusak alam dengan cara yang paling mengenaskan.

Oleh sebab itu hal ini juga disorot oleh masyarakat sastra melalui puisi, prosa, cerpen atau karya-karya seni lainnya, dan mereka bereaksi keras atas terjadinya 'bencana alam' ini, gerakkan nyata ini atau gerakkan penyadaran (conscientization) yang dilakukan oleh masyarakat sastra dunia baik ditingkat lokal, nasional, regional, dan international.


Dan mereka diberi tahu untuk tidak merusak tumbuh-tumbuhan di bumi
atau apa pun yang hijau atau pohon apa pun,
melainkan hanya orang-orang yang tidak memiliki meterai Allah di dahi mereka.


”waktu yang ditetapkan” sudah dekat manakala Ia akan ”membinasakan orang-orang yang sedang membinasakan bumi”



Sumber : New World Translation of The Holly Scriptures


Di Indonesia gerakkan sastra hijau salah satunya dipelopori oleh PERHUTANI, yaitu dengan menerbitkan buku dengan judul : Seni Menulis Sastra Hijau, buku tersebut berisi tentang cara menulis puisi berikut contoh-contohnya. Selain itu, juga arahan cara menulis fiksi hijau: novel.

Dalam catatan Naning Pranoto tersebut disebutkan beberapa negara yang sudah menulis dan mengembangkan tentang sastra hijau ini, misal di Australia telah dimulai sejak abad 19, disebut sebagai Era Sastra Kolonial, puisi-puisinya dikenal dengan istilah blush poetry yang dipelopori oleh Henry Lawson (186 –1922), Banjo Paterson (1864-1941) dan Dorothea Mackellar (1885-1968).

Di Amerika Serikat ada penulis terkenal Emily Dickinson, puisi-puisinya sering dikutip oleh penyanyi terkenal Ebiet G. Ade, di Inggris ada Brian Clarke yang menulis novel berjudul The Stream yang mendapat penghargan Natural World Book Prize Britain, Novel The Stream benar-benar menantang kita untuk berupaya mengubah limbah industri yang ganas dan kejam menjadi limbah yang ramah lingkungan.

Bagaimana dengan di Indonesia, sebenarnya banyak penyair secara tidak langsung menyajikan tentang puisi-puisi hijau ini, dan mungkin Anda pernah menulis tanpa sadar, tidak soal siapa pelopornya di Indonesia maupun dunia, kita hendaknya sadar bahwa melalui sastra para penyair yang terpanggil bisa memulainya menulis puisi, prosa atau karya sastra lainnya mengenai lingkungan atau alam. Laskar Pelangi juga termasuk dalam sebuah karya sastra hijau yang banyak menceritakan tentang keindahan alam di desa di mana penulisnya Andrea Hirata pernah tinggal, menurut saya adalah sebuah gerakkan sastra hijau yang dimulai dari pribadi-pribadi penulisnya sendiri.

Berikut ini beberapa contoh puisi tentang atau yang mengandung sastra hijau, sebagai berikut :


Dahulu, hutanku lebat
Mata air di dalamnya tak pernah mengesat
Pepohonnya rindang berdaun lebat
Udaranya sejuk dan lingkungannya mengikat
Sumber daya alam yang tidak suli didapat
Semua machluk akrab bersahabat

Kini, hutan telah terbabat
Oleh mereka yang namanya konglomerat
Sumber daya alam habis disikat
Hasilnya dimanfaatkan untuk maksiat
Akibat kurangnya pengawasan aparat
Masyarakat menjadi seeanaknya berbuat
Pembabatan hutan semakin meningkat
Panasnya mentari sungguh menyengat
Pertanda Tuhan menurunkan laknat
Alam ini enggan bersahabat
Krisis melanda seluruh umat
Ulah manusia yang moralnya bejat

Kiranya ini menjadi nasihat
Kepada sekalian para sahabat
Kalau tak ingin mendapat laknat
Pelihara lingkungan secara ketat
Agar alam kembali bersahabat
Semoga Tuhan menurunkan rahmat



Sumber : www.anneahira.com



MELIHAT POHON HAYAT Naning Pranoto
Pohon hayat Tumbuh di arah kiblat Tegak subur berdaun makrifat Hidup tegar berbatang syahadat Lestari abadi bertumpu hakikat

Pohon hayat tegak di pusat dunia Anugerah dari yang Satu, Bagi yang jamak Tempat berlindung Kaum yang selamat

Pohon Hayat Berbuah dua Bagai Adam bersama Hawa Nenek moyang umat manusia Meniti hidup di alam fana

Pohon Hayat Hijaumu abadi Daun-daunmu tak pernah layu Walau musim silih berganti Dahan dan rantingmu tahan waktu

Pohon Hayat, Cabang-cabangmu mendongak ke atas Menuding ke arah langit tinggi Bagai menunjuk arasy Ilahi Memberi petunjuk umat insani Untuk berdoa sambil memuji

Pohon Hidup Sinarmu tak pernah redup Melindungi semua yang ada Bunga sucimu tak pernah kuncup Gambaran nyata alam semesta.






Jakarta, 21 September 2013
Sonny H. Sayangbati






_______________

Referensi :

- New World Translation of The Holly Scriptures (Indonesia Edisi)
- Naning Pranoto, Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi (http://www.rayakultura.net/sastra-hijau-dan-eksistensi-bumi/)
- Firman Nugraha, Sastra Hijau (http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/sastra-hijau.html)
- www.anneahira.com
- Serta sumber-sumber lainnya

1 komentar:

  1. Teori ekocriticism atau sastra hijau ini merepakan sebuah terobosan untuk menyelamatkan lingkungan melalui karya sastra. (Widodo van Sodhunk, Fakultas Sastra Unej)

    BalasHapus